Kita coba melihat segala sesuatunya secara pertengahan. Semisal berkaitan dengan Fitnah Kyai Idrus Ramli terhadap pelaku dakwah di indonesia. Khususnya bagaimana beliau juga punya kekurangan, agar bisa jadi bahan renungan.
Bahwa kalau masih sesama manusia, pasti ada kekurangan. Tolong proporsional, jangan berlebihan dalam mendukung atau juga menganggap keliru secara berlebihan.
Siapa kyai Idrus Ramli itu?
Menurut data yang diambil dari blog miliknya,(www.idrusramli.com) Muhammad Idrus Ramli, lahir di Jerreng Barat, Gugut, Rambipuji, Jember, 1 Juli 1975. Pada masa kecilnya belajar al-Qur’an, tajwid, dasar-dasar agama dan gramatika Arab kepada Kiai Nasyith di Pondok Pesantren Nashirul Ulum, selain menamatkan SDN Gugut I tahun 1986. Melanjutkan belajar ke Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan (1986-2004) dengan menamatkan Ibtidaiyah (1990), Tsanawiyah (1994) dan Aliyah (1997). Tahun 1994 ditugasi mengajar di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Darut Tauhid Injelan Panggung Sampang Madura. Tahun 2003 jalan-jalan ke Inggris dalam rangka studi komparatif.
Ketika di pesantren sejak 1996-2003 aktif di Bahtsul Masail PC NU Kabupaten Pasuruan. Tahun 2002-2004 aktif di kajian RMI Cabang Kabupaten Pasuruan. Setelah keluar dari Pondok Pesantren Sidogiri 2004, diangkat menjadi Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail NU Jember 2004-2009 sambil mengajar di Pondok Pesantren Nurul Islam Antirogo Jember. Tahun 2005 mengajar di Pondok Pesantren Nurul Musthafa Benua Lima Amuntai Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Tahun 2007-2012 diangkat menjadi anggota Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur. Tahun 2008- 2013 diangkat menjadi Ketua Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr dan Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail NU Kencong.
Sejak mengajar di pesantren 1998, sering mengisi pelatihan kaderisasi Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang disebut ANNAJAH (istilah ASWAJA di Pondok Pesantren Sidogiri). Setelah keluar dari pesantren sering mengisi acara-acara seminar, halqah dan pelatihan ASWAJA di beberapa cabang NU Jawa Timur dan Jawa Tengah. Aktif di diskusi dua bulanan Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (INPAS) Surabaya.
Pengalaman tulis menulis dimulai sejak menjadi staf redaksi Majalah Ijtihad (1995-1996), Pemimpin Redaksi Majalah Ijtihad (1997), Pemimpin Umum Buletin Istinbath (1998-2001), dan Pemimpin Redaksi Jurnal TAMASYA (2003), di Pondok Pesantren Sidogiri. Aktif menulis di beberapa media seperti Majalah Santri (RMI), Aula (NU Jawa Timur), Jurnal al-Insan Jakarta, Buletin Sidogiri, Jurnal Maktabatuna (Pondok Pesantren Sidogiri), Majalah Aschol (Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Demangan Bangkalan), Majalah Khittoh (NU Jember) dan lain-lain. Tahun 2008-2013 menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Milenia ASWAJA (NU Rencong).
PEMIKIRAN IDRUS RAMLI
KH idrus ramli adalah seorang yang sangat memusuhi manhaj salaf atau kaum pemurni ajaran islam.
mari kita cermati tulisan yang ana ambil dari blognya
abunamira sebagai berikut
Membaca rubrik Cakrawala Buletin Sidogiri edisi 26 Safar 1429 halaman 27-29 bertajuk: “Lembaran Hitam di Balik Penampilan Keren Kaum Wahabi” yang ditulis oleh Idrus Ramli, hati saya tergerak untuk memberikan tanggapan. Saya bukan seorang yang fanatik kepada Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, sebab saya yakin yang maksum dari kesalahan hanya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Saya merasa perlu menulis tanggapan ini karena menurut saya, tulisan Idrus Ramli –meminjam istilah Idrus Ramli- banyak kerapuhan di dalamnya.
Pada bagian pengantar, Idrus Ramli menulis, “Apabila diamati, sekte yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi (1115-1206 H/ 1703-1791 M), sebagai kepanjangan dari pemikiran dan ideologi Ibnu Taimiyah al-Harrani (661-728 H/ 1263-1328 M) akan didapati sekian banyak kerapuhan dalam sekian banyak aspek keagamaan.” Idrus Ramli benar, bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab meneruskan pemikiran dan ideologi Ibnu Tamiyah, tetapi keliru karena Muhammad bin ‘Abdul Wahhab tidak pernah mendirikan sekte atau organisasi keagamaan apa pun. (Da’watusy Syaikh Muhammad ibni ‘Abdil Wahhab wa Atsaruha fil ‘Alam al-Islami, Muhammad bin Abdullah bin Sulaiman, Maktabah Syamilah, halaman 61).
Tanggapan
Pernyataannya bahwa ada sekian banyak kerapuhan dalam sekian banyak aspek keagamaan dalam pemikiran dan ideologi Muhammad bin Abdul Wahhab (dan Ibnu Taimiyah) perlu dikaji ulang. Apakah Idrus Ramli sudah membaca semua karya Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyah, sehingga berani berkesimpulan seperti itu? Apakah tidak sebaiknya kita melakukan cross check ke kitab-kitab yang ditulis oleh keduanya, alih-alih hanya membaca tulisan-tulisan atau buku-buku yang menghujat keduanya? Khusus untuk Ibnu Taimiyah, alih-alih menjauhinya, buku “Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah” terbitan pustaka Sidogiri justru mengutip goresan pena beliau di sana-sini.
Sejarah Hitam (?)
Idrus Ramli menulis bahwa Kaum Wahabi (sebenarnya sebutan Wahabi diberikan oleh orang-orang Orientalis, lihat: asy-Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab Hayatuhu wa Da’watuhu fir Ru`yah al-Istisyraqiyah, Nashir bin Ibrahim bin Abdullah at-Tuwaim, Maktabah Syamilah, halaman 84-88) menghalalkan darah kaum muslimin di Hijaz dan menjarah harta mereka dengan menganggapnya sebagai harta ghanimah. Semua itu, tulis Idrus Ramli, berangkat dari Paradigma Wahabi yang mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah dan harta benda kaum Ahlussunnah wal Jamaah pengikut madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali yang tinggal di kota itu.
Tanggapan
Sayang sekali saya tidak mempunyai buku “asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab; ‘Aqidatuhus Salafiyyah wa Da’watuhul Ishlahiyyah” yang menurut Idrus Ramli memuat lembaran hitam sejarah ini. Tetapi saya membaca sejarah dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab dari dua buku “al-Imam Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab; Da’watuhu wa Siratuhu” karya ‘Abdul ‘Aziz bin Baz (buku yang dirujuk Idrus Ramli dipengantari oleh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz!) dan “Da’watusy Syaikh Muhammad ibni Abdil Wahhab wa Atsaruha fil ‘Alam al-Islami” karya Muhammad bin Abdullah bin Sulaiman.
Di kedua buku itu disebutkan bahwa yang diperangi oleh tentara Muhammad bin Su’ud bukan kaum muslimin, melainkan orang-orang musyrik penyembah berhala, pohon, gua, dan kuburan. Bukan orang yang sekedar berziarah kubur; Muhammad bin ‘Abdul Wahhab (juga Ibnu Taimiyah) tidak mengharamkan ziarah kubur. Bagaimana mungkin Muhammad bin Abdul Wahhab mengkafirkan dan menghalalkan darah dan harta para pengikut madzhab yang empat, sedangkan dia sendiri adalah salah seorang pengikut madzhab Hambali (Da’watusy Syaikh Muhammad ibni Abdil Wahhab wa Atsaruha fil ‘Alam al-Islami, halaman 60; 83-90)
Kerapuhan Ideologi (?)
Idrus Ramli menulis bahwa Wahabi terjerumus dalam paham Tajsim dan Tasybih.
Tanggapan
Jika yang dimaksud dengan Wahabi adalah orang-orang yang sepaham dengan Muhammad bin Abdul Wahhab dan tentunya Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri, saya perlu sampaikan bahwa Idrus Ramli SALAH BESAR. Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang antipati terhadap paham Tajsim dan Tasybih. (ar-Rasail asy-Syakhshiyah, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, 133-134). Akidah Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyah sama. Yakni meng-itsbat-kan sifat-sifat Allah sebagaimana disifatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. (ar-Rasail asy-Syakhshiyah, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, halaman 8; Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, II/ 240) Ini pula akidah para Salaf dan bahkan akidah Abu Ja’far ath-Thahawiy yang kitabnya dirujuk oleh Idrus Ramli (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izz, I/ 399).
Kerapuhan Tradisi (?)
Idrus Ramli menuduh kaum Wahabi (?) tidak mencintai, tidak menghormati, dan tidak mengagungkan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam . Alasannya, mereka tidak bertawassul dengan Nabi, tidak bertabarruk, dan tidak merayakan maulid. Lebih lanjut Idrus menyatakan bahwa secara tidak langsung mereka mengkafirkan Nabi Adam as, para sahabat, ahli hadits, dan ulama Salaf yang menganjurkan tawassul.
Tanggapan
Dari literatur yang saya baca di atas, saya dapati bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab (dan Ibnu Taimiyah) tidak menyamaratakan hukum tawassul. Menurutnya, tawassul itu ada yang sunnah, ada yang bid’ah, dan ada yang masih diperselisihkan hukumnya oleh para ulama.
Bertawasul dengan Nabi Shallallahu Alaihi wasalam sepeninggal beliau termasuk yang diperselisihkan itu (Mukhtashar al-Inshaf wa asy-Syarhul Kabir, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, halaman 208; Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, I/30) Apakah salah jika Muhammad bin ‘Abdul Wahhab memilih pendapat yang melarang tawassul dengan Nabi saw sepeninggal beliau (juga tentang perayaan maulid Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam), sedangkan masalah itu adalah masalah Khilafiyah?
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab menyerukan cinta dan penghormatan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasalam dengan tradisi yang disepakati dan dipraktikkan oleh para ulama Salaf seperti menyebarkan salam, memanjangkan jenggot, memakai sarung tidak melebihi mata kaki (isbal), dan lain sebagainya.
Tentang Nashiruddin al-Albani (saya kira maksudnya Muhammad Nashiruddin al-Albani) yang dituduh menyerukan pembongkaran al-Qubbatul Khadhra` dan mengeluarkan jasad Nabi shallallahu alaihi wasallam dari dalam masjid Nabawi, jika yang dimaksud Idrus Ramli adalah tulisan Muhammad Nashiruddin al-Albani (pakar hadits kenamaan abad 20, menurut buku “Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah” halaman 76. Tiga karya beliau dijadikan referensi buku itu) dalam kitabnya Tahdzirul Masajid, juz I/ 68; maka Idrus Ramli telah salah paham terhadap pernyataan beliau. Beliau sama sekali tidak menyerukan pembongkaran al-Qubbatul Khadhra` dan mengeluarkan jasad Nabi Shallallahu alaihi wasallam dari dalam masjid Nabawi. Beliau hanya mengusulkan kepada pemerintah Arab Saudi, jika hendak memugar masjid Nabawi, supaya memugarnya sedemikian rupa sehingga kuburan Nabi shallallahu alaihi wasallam dikembalikan seperti semula. Seperti keadaannya pada zaman Khulafa`ur Rasyidin; kuburan Nabi tidak termasuk bagian dari masjid Nabawi. Maknanya masjid diperluas ke arah yang tidak akan menabrak (baca: memasukkan) kuburan Nabi ke dalam masjid. Hadits-hadits shahih yang menjadi alasan beliau dapat dibaca di buku yang saya sebut di atas.
Tentang pengkafiran al-Albani terhadap Imam al-Bukhari, saya tidak percaya. Sebab ketika saya membaca kitab beliau yang saya sebut di atas, saya mendapati lebih dari sepuluh kali beliau mengutip hadits Imam al-Bukhari. Jika al-Albani mengkafirkannya, mestinya dia tidak memakai hadits-haditsnya lagi. Selain itu pasti ulama seluruh dunia mencoretnya dari daftar pakar hadits abad 20.
Di bagian penutup, Idrus Ramli mengutip sebuah hadits yang –ditulisnya– diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan lain-lain. ( Nabi r bersabda, “Di Najd, akan muncul generasi pengikut Setan”. Menurut para ulama, maksud generasi pengikut Setan dalam Hadis ini adalah kaum Wahabi.)Dengan bantuan Maktabah Syamilah, saya mencoba melacak hadits yang dimaksud. Saya ketikkan kata Najd (nun-jim-dal) dan saya pilih Kutubut Tis’ah. Dus, saya disodori 236 hasil pencarian, namun saya tidak mendapati hadits yang redaksinya sama dengan yang dimaksud oleh Idrus Ramli. (panjang lebar bantahan tentang Di Najd, akan muncul generasi pengikut Setan, maka klik : Muhammad bin Abdul Wahhab: Fitnah Nejed?)
Akhirnya, saya mengajak diri saya pribadi, saudara Idrus Ramli, dan seluruh pembaca untuk senantiasa mengintrospeksi diri dan bersikap adil kepada siapa pun. Bukankah kepada seorang Yahudi pun Rasulullah saw. bersikap adil?
“Dan janganlah kebencianmu kepada suatu kaum , mendorong kamu untuk berlaku tidak adil! Berlaku adillah! Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8 )
APAKAH DIA SEORANG YENG BENAR BENAR MENGERTI ILMU..?
untuk mengetahuinya,maka kita simak saja dialog berikut,yang tercantum dalam video http://youtu.be/ydQxcjAeB2Q Debat Ilmiah Asatidzah Hang FM Batam Dgn ASWAJA
"Diantara cuplikan'debat'antara ustad Firanda dengan Ustad Muhammad Idrus Ramli di Batam yang membuat saya tertawa mendengarnya (sebenarnya gak ingin tertawa sih, tapi koq lucu) :
"Mengenai Talafuzh binniat (Melafazhkan Niat)
Ustad Idrus Ramli berdalil dengan ucapan Rasulullah -Shallallahu'Alaihi wa Sallam- ketika Nabi berdialog dgn siti Aisyah karena Siti Aisyah tidak masak makanan dan tidak ada makanan yg bisa dimakan dirumahnya maka Nabi mengatakan kpd Siti Aisyah :"idzan anaa shaa-im"(kalau begitu aku akan berpuasa) sebagai dalil bolehnya melafadzkan niat.
Ustadz Firanda menjawab: Hadits tsb yaitu"idzan anaa shaa-im"(kalau begitu aku akan berpuasa), maksudnya adalah Nabi mengabarkan kpd Aisyah bahwa Nabi Puasa karena tdk adanya makanan, bukan dalil untuk melafazhkan Niat Puasa, orang Nahdliyyin selama ini juga melafazhkan niat dengan ucapan:"nawaitu shauma ghodin..dst", apakah ada diantara mereka mengucapkan niat dengan lafadh:"idzan anaa shaa-im"..??
Ustad Idrus Ramli menyanggah:"Nggak mesti dengan lafadz"nawaitu shauma ghodin", lafazh apapun kalau maknanya sama gpp, bebas..!!"
Ustadz Zainal Abidin menjawab:"Kalo memang seperti itu, anak-anak sekolah ujian, trus ada soal:"sebutkan niat puasa ???"Trus dijawab sama anak tsb :"idzan anaa shaa-im"itu pasti disalahin dan dicoret sama gurunya, udah pasti salah.
Ustadz Firanda ketawa denger jawaban ustadz Zainal Abidin..
Saya juga nyengir ketika tahu bahwa ada niat puasa seperti itu, wah... berarti warga Nahdliyyin punya lafadz niat puasa baru sekarang yang dishahihkan oleh ust Idrus Ramli,,
silahkan nilai sendiri keilmuan KH muhammad idrus ramli..
sumber: http://aminbenahmed. blogspot. co .id/2014/01/siapakah-muhammad-idrus-ramli.html
Simak juga catatan kedustaan pak Idrus Ramli yang coba lakukan pada debat batam pada pengikutnya, bisa baca bantahannya di https://aslibumiayu.net/8072-hebatnya-ustadz-idrus-ramli-membuat-pernyataan-yang-sangat-lucu-dan-aneh.html
TANGGAPAN ATAS CATATAN idrus ramli SETELAH DEBAT DI KEMENAG
CATATAN TERHADAP DEBAT
TERBUKA DENGAN WAHABI
Di KEMENAG
Kota Batam, 28 Desember 2013
Tulisan ini dibuat oleh Oleh: KH.Muhammad idrus ramli
Batam, 30 Desember 2013.
Ditanggapi oleh ustadz Abu Mundzir Al-Ghifary
1. Dalam dialog tersebut, perwakilan dari Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebagai pembicara, hanya al-faqir Muhammad idrus ramli.
Sedangkan Kiai Thobari Syadzili, hanya menemani duduk, tidak diberi waktu berbicara, kecuali 1 menit menjelang acara dihentikan.
Sementara dari pihak Radio Hang atau Wahabi, adalah Ustadz Zaenal Abidin dan Ustadz Firanda Andirja. Isu-isu dari kaum Wahabi, bahwa perwakilan dari Ahlussunnah adalah KH.Muhammad idrus ramli dan beberapa orang, adalah tidak benar. Jadi yang benar, debat 1 orang lawan 2 orang.
TANGGAPAN:
Perkataan 1 lawan 2 jelas bertentangan dengan kenyataan dari moderator kemenag sudah menyampaikan bahwa yang dari NU 2 orang dan dipersilahkan untuk berdiri dan dia berdiri berarti menyetujui dialog tersebut.
Tidak benar jika beliau tdk diberikan waktu bicara karena waktu yang ada sudah dibagi dengan baik oleh moderator, tapi jika yang banyak jawab adalah idrus ramli maka otomatis waktunya dihabisin sama si romli. Kemudian di akhir acara dia juga menyampaikan pendapatnya yang sbenarnya sama sekali tidak ‘ilmiyyah tidak ada hujjahnya dan menyampaikan yang ada dalam keyaqinannya tanpa memandang dalil dalil yang sudah dipaparkan kedua belah pihak.
2. Dalam acara dialog tersebut, semua pembicara dibatasi oleh waktu. Karenanya mungkin banyak pembicaraan Wahabi yang tidak sempat kami tanggapi, dan sebaliknya.
TANGGAPAN:
Tetapi walaupun singkat, scara garis besar sudah bisa kita lihat mana yang mengikuti dalil dan mana yang membuat jalan baru dari sisi pendalilan.
Dan menggunakan dalil dalil yang tidak cocok dengan ritual yang dikerjakannya.
Hingga tatkala terpepet tidak ada hujjah kemudian menggunakan perkataan perkataan ulamaa’ mereka yang jelas jelas tidak didukung oleh dalil sama skali dari hadits yang shahih.
3. Dalam pengantar dialognya, Ustadz Zaenal Abidin Lc, yang mewakili pihak Wahabi, mengaku sebagai warga NU (Nahdlatul Ulama) tulen. Padahal selama ini, dalam ceramah-ceramahnya ia selalu membid’ahkan amaliah warga NU.
Dan ternyata, dalam dialog tersebut, Zaenal Abidin, tidak bisa menyembunyikan jatidirinya yang Wahabi.
Ia menyalahkan ajaran NU seperti menerima bid’ah hasanah, melafalkan niat dalam ibadah, qunut shubuh, tahlilan (kendurenan tujuh hari), Yasinan dan Yasin Fadhilah.
Silahkan pemirsa menilai sendiri dengan hati nurani. Zaenal mengaku warga NU tulen, tetapi menyalahkan semua amaliah NU.
TANGGAPAN:Beliau dulunya adalah lulusan ponpes tambakberas jombang yang jelas jelas NU. Dan guru beliau juga NU. Jadi pada asalnya memang NU tulen.
Setelah itu beliau belajar di LIPIA dan juga bermajlis dengan Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baaz rahimahullahuta’ala (mufti saudi arabia).
Dan NU versi ustadz zainal abidin ini adalah NU Kitab bukan NU organisasi. Krna kalau NU kitab maka banyak kitab kitab yang dijadikan rujukan NU adalah kitab kitab dari para ulamaa’ ahlussunnah, smisal : al imama asysyafi’i , al imam nawawy, Ibnu Hajar atsqolany, Assuyuthi, dll.
Nah sedangkan NU organisasi jelas tidak bisa dijadikan sandaran kebenaran dalam hal ini karna dlam organisasi NU sendiri banyak perselisihan di dalamnya. Semisal Gusdur dgn muhaimin dll.
Maka yang dimaksud NU oleh ust zainal abidin adlah NU kitab, yang mana beliau juga menyimpan rapi kitab kitab NU dari guru beliau.
4. Delegasi dari Wahabi, Zaenal maupun Firanda, tidak menaruh hormat kepada pendapat para ulama besar sekaliber Imam Ahmad bin Hanbal, Imam an-Nawawi, al-Hafizh Ibnu Hajar dan lain-lain.
Misalnya dalam bahasan bid’ah hasanah, saya mengutip pendapat Imam an-Nawawi yang menjelaskan bahwa hadits kullu bid’atin dhalalah, dibatasi dengan hadits man sanna sunnatan hasanatan.
Firanda tidak menghargai pendapat Imam an-Nawawi tersebut, dan memilih
berpendapat sendiri.
Padahal dia, masih belum layak memiliki pendapat sendiri. Bahkan memahami karya para ulama juga sering keliru. Pembaca dan pemirsa tentu tahu, bahwa ciri khas kaum liberal atau JIL adalah menolak otoritas ulama.
TANGGAPAN:
Perkataan semisal ustadz zaenal abidin dan ustadz firanda tidak menaruh hormat kepada para ulamaa besar, dan yang semisalnya ini jelas tuduhan yang jauh dari kebenaran.
Dan para pemirsa yang melihat video tersebut sangat jelas mendengar bagaimana beliau banyak menukil pendapat-pendapat dari imam nawawy rahimahullah dan para ulama’ syafi’iyyah yang lainnya.
Dan bahkan tatkala beliau menukilkan perkataan dari para ulamaa’ tersebut , ustadz idrus ramli yang justru tidak mau mengikuti pemahaman imam madzhab syafi’I dan juga para ulamaa’ yang lain dalam hal pelafadzan niat.
Dan justru dia menyandarkan perkataan satu imam yang dijadikan pedoman olehnya dalam keadaan imam tersebut berpendapat tanpa didukung hujjah. Dan menyelisihi imam yang lebih tinggi darinya.
Kita bisa lihat bagaimana kerepotan idrus ramli dalam hal mempertahankan permasalahan pelafadzan niat.
Pontang panting kesana kemari tanpa dalil sama sekali, hingga dia katakan bahwa pelafadzan niat itu bebas saja tdk ditentukan dgn lafadz tertentu, jelas ini adalah kesimpulan aqal saja yang mengada ada tanpa hujjah dan tanpa contoh sama sekali dari Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dan para sahabatnya.
Dia katakan seolah olah ustadz firanda dan ustadz Zaenal memiliki ciri khas kaum liberat atau JIL yakni menolak otoritas ulama’, tentu jelas skali ini fitnah besar yang dihembuskan.
Di sebelah mana beliau mengingkari otoritas ulamaa’ padahal pada diskusi di atas beliau berdua (ustadz Zainal dan ustadz Firanda) selalu menukil perkataan para ulamaa’. Hanya saja mungkin yang dikehendaki oleh ramli adalah bahwa ustadz Firanda tidak mau mengikuti perkataan dari ulamaa’ yang ramli bawakan tapi malah membantah dengan perkataan ulamaa’ yang lebih tinggi darinya dan justru mematahkan hujjah yang dia bawakan.
Nah jika seperti ini maka siapakah yang lebih dahulu terburu buru memvonis yaa ustaadz…??
Selama beliau berdua menempuh jalan dalam pendidikannya maka kita ketahui bersama di perpustakaan saudi terdapat kitab kitab para ulamaa’ melimpah ruah dan bahkan manuskrip aslinya juga ada. Ini semua menjadi rujukan ilmiyah yang dipakai oleh para thulab di sana.
Dan apa yang beliau berdua sampaikan juga menukil dari para ulamaa’. Bagaimana mungkin anda katakan sebagaimana JIL/liberal..? Allahulmusta’an..
Dan perkataan anda dalam hal ini sungguh tidak nyambung sama sekali dengan inti persoalan.
5. Zaenal dan Firanda menggunakan standar ganda dalam menilai pendapat para ulama. Ketika pendapat mereka sesuai dengan semangatnya, mereka mati-matian menyerang tradisi NU, seperti dalam kasus tradisi kenduri kematian selama 7 hari, yang dihukumi makruh dalam kitab-kitab Syafi’iyah.
Seakan-akan mereka lebih Syafi’iyah dari pada warga NU.
Akan tetapi ketika pendapat para ulama tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, Firanda dan Zaenal menganggap pendapat tersebut tidak ada apa-apanya.
Seperti dalam bahasan bid’ah hasanah. Sikap mendua seperti ini, mirip sekali dengan kebiasaan orang Syiah. Ketika hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim sesuai dengan keinginan Syiah, mereka jadikan hujjah. Akan tetapi ketika hadits-hadits tersebut berbeda dengan hawa nafsu Syiah, mereka tolak dan mereka dustakan.
TANGGAPAN:
Ucapan idrus ramli dalam no. 5 ini sangat jauh dari kenyataan di video yang bisa kita lihat bersama. Dan apa yang ada di video ini telah mmbantah syubhat seperti ini.
Jika perkataan ini disampaikan pada orang yang tidak melihat video tersebut maka dengan mudah akan mempercayai tuduhan ini, tetapi walhamdulillah apa yang tampak di video tersebut telah membantah syubhat spt ini.
Dan di no. 5 ini idrus ramli menyamakan al ustadz zainal abidin dan ustadz Firanda sbagaimana halnya SYI’AH. Nah tentu tuduhan ini sangatlah parah bila ditinjau dari apa yang kita saksikan di video tersebut.
Kemudian masalah hadits kan sudah dijelaskan dengan gamblang banget dalam dialog tersebut, semestinya idrus ramli tidak perlu membuat pernyataan seperti ini. Karena yang idrus ramli maksudkan adalah tatkala ustadz Zainal mendho’ifkan hadits yang idrus ramli bawakan.
Tapi sanggahan yang idrus ramli bawakan telah terpatahkan oleh pemaparan ustadz Zainal abidin. Tentu hal ini tidak bisa dijadikan sandaran bahwa ustadz zainal mapun ustadz Firanda menolak dan mendustakan tanpa ‘ILMU. Dan hal ini bisa dilihat di video tersebut.
6. Dalam bahasan qunut shubuh, Firanda melakukan kesalahan ilmiah ketika mengomentari tanggapan ustadz Muhammad idrus ramli terhadap hadits Abi Malik al-Asyja’i. Sebagaimana dimaklumi, dalam riwayat al-Tirmidzi, an-Nasa’i, Musnad Ahmad dan Ibnu Hibban, Abu Malik al-Asyja’i menafikan qunut secara mutlak, baik qunut nazilah maupun qunut shubuh.
Tetapi Firanda mengatakan bahwa dalam kitab-kitab hadits, hadits Abu Malik al-Asyja’i menggunakan redaksi yaqnutun fil fajri (qunut shalat shubuh). Ternyata setelah kami periksa dalam kitab-kitab hadits, kalimat fil fajri tidak ada dalam riwayat-riwayat tersebut.
Silahkan diperiksa dalam Sunan al-Tirmidzi juz 2 hal.252 (tahqiq Ahmad Syakir), Sunan al-Kubra
lin-Nasa’i, juz 1 hal. 341 tahqiq at-Turki atau al-Mujtaba lin-Nasa’i juz 2 hal. 304 tahqiq Abu Ghuddah.
TANGGAPAN:
Mengenai lafadz بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ yang dianggap idrus ramli tidak ada dalam kitab kitab hadits (YANG DIA BACA) atau menganggap ustadz Zainal abidin dan ustadz Firanda keliru maka kesimpulan yang terburu buru. Silahkan dicek di kitab-kitab berikut:
Hadits Sa’ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja’i
قُلْتُ لأَبِيْ : “يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ” فَقَالَ : “أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ”.
“Saya bertanya kepada ayahku : “Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada sholat subuh ?”. Maka dia menjawab : “Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid’ah)”. Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080 dan dalam Al-Kubro no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thoy alisy no.1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/101 no.6961, Ath-Thohawy 1/249, Ath-Thobarany 8/no.8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihs an no.1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.677-678 dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil no.435 dan syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shoh ihain.
7. Firanda memaksakan diri mengatakan bahwa hukum kenduri kematian selama
tujuh hari menurut Syafi’iyah adalah makruh tahrim. Padahal dalam kitab-
kitab Syafi’iyah, hukumnya adalah bid’ah yang makruh dan tidak mustahabbah, alias bukan makruh tahrim.
Untuk menguatkan pandangannya, Firanda mengutip pernyataan Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari, dalam Asna al-Mathalib, yang berkata “wa hadza zhahirun fit tahrim”. Ternyata setelah kami periksa, Syaikhul Islam Zakariya, masih menghukumi kenduri kematian dengan makruh atau bid’ah yang tidak mustahab (tidaksunnah).
Sedangkan keharaman yang menjadi makna zhahir hadits tersebut, oleh beliau dialihkan kepada bukan tahrim. Hal ini dapat dipahami, ketika membaca dengan seksama, bahwa Syaikhul Islam Zakariya dalam pernyataan tersebut, mengutip dari Imam an-Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin dan al-Majmu’, yang menghukumi kenduri kematian dengan bid’ah yang tidak mustahab.
TANGGAPAN:Pernyataan idrus ramli ini telah dibantah tuntas di sini:
Dalam pemaparan tersebut ustadz firanda telah menjelaskan panjang lebar dan mematahkanhujjah idrus ramli dan di akhir kata beliau menyatakan :
Jika memang para salaf selalu melakukan tahlilan selama tujuh hari berturut-turut, dan juga hari ke 40, 100, dan 1000 hari sebagaimana yang dipahami oleh ustadz Muhammad idrus ramli dan juga Kiyai Syadzily Tobari, maka kenapa kita tidak menemukan sunnah ini disebutkan dalam kitab-kitab fikih madzhab?
apakah para ahli fikih empat madzhab sama sekali tidak mengetahui sunnah ini?
Jika idrus ramli mengatakan bahwa para ulamaa’ terkemuka tersebut membolehkan tahlilan, maka tidak kita temui dalam kitab kitab mereka yang menyatakan bahwa sejak zaman sahabat , tabi’in , imam yang empat telah mempraktekan tahlilan yang mereka kerjakan. Dan ini tidak ada sama sekali.
Maka jelas bahwa yang mereka persangkakan itu adalah penafsiran mereka sendiri, yang pada kenyataannya tidak ada bukti sama sekali yang membenarkan persangkaan tersebut. Yakni para imam ahlussunnah tidak ada yang melaksanakan acara ibadah TAHLILAN seperti yang mereka lakukan saat ini. Allahulmuwafiq.
8. Zaenal Abidin, kurang memahami istilah-istilah keilmuan. Misalnya tentang qiro’ah syadzdzah (bacaan yang aneh atau menyimpang), dalam membaca al-Qur’an.
Menurut Zaenal, orang yang membaca ayat al-Qur’an, apabila diulang-ulang maka termasuk qiro’ah syadzdzah yang diharamkan. Sebaiknya Zaenal belajar ilmu qiro’ah atau ilmu tafsir agar tidak keliru dalam hal-hal kecil.
TANGGAPAN:
Ustadz zaenal tidak ada menyatakan bahwa bacaan yang diulang-ulang itu adalah Qiro’ah syadzdzah. Perkataan ustadz zaenal : “… Kayak ini,ini ada yasin fadhilah,cara membacanya yasin yasin yasin yasin yasin,ini kira-kira qiro’ah apa gitu lho ?
Padahal Ibnul Abdil Barr saja sebagaimana yang telah dinukil Imam suyuti membaca Al-Qur’an dengan qiro’ah syadzdzah ijma’ haram,APALAGI INI SYADZDZAH AJA ENGGAK. ….”
Tidak ada sama sekali pernyataan ust zaenal bahwa membaca Al-Qur’an apabila diulang-ulang maka termasuk qiro’ah syadzdzah,sepert yang idrus ramli tuduhkan. Silahkan lihat video Jam ke 1 menit ke 40..
Ucapan ini adalah salah sasaran, karena ustadz zainal abidinlah yang telah memaparkan kaidah kaidah tafsir berdasarkan ulamaa’ mufasiriin pada saat mudzakarah dengan sa’id aqil munawar mantan menteri agama yang videonya bisa dilihat di sini (bersambung part 1-part 10) :
[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=mZaB9cDtNaI&rel=0]
Kita semua termasuk idrus ramli memang harus terus belajar, akan tetapi pantaskah kita katakan kepada beliau sekaliber ustadz Zainal abidin, lc hafidhahullah dengan perkataan “SEBAIKNYA zaenal belajar dst…??” yang dimaksudkan untuk merendahkan ke’ilmuan beliau.
Maka sejak awal tulisan ini sudah sering idrus ramli mengucapkan kata kata yang tidak pantas seperti ini.
9. Dalam bahasan melafalkan niat, menurut Firanda dan Zaenal, redaksi niat harus
menggunakan redaksi usholli dan nawaitu showmaghadin. Kalau redaksinya dirubah menjadi nawaitu an ushalliya atau inni shoimun, dan atau ashuumu, menurut mereka adalah salah dalam madzhab Syafi’iyah. Demikian beberapa catatan kami terhadap dialog kemarin.
TANGGAPAN:
idrus ramli salah faham dalam pernyataannya ini. Karena yang dimaksud ustadz zaenal abidin dan ustadz firanda adalah bahwasanya melafadzkan niat tidak berhujjah sama sekali, Maka jika dipaksa paksakan juga aneh. Ini sudah disampaikan beliau.
Semisal perkataan idrus ramli yang mengatakan bahwa lafadznya bebas, nah ini dibantah dengan argumen bahwa jika ada murid yang melafadzkan selain usholli maka tentu akan disalah salahkan oleh kyainya.
Dan ini ma’lum. Di ponpes maupun di sekolahan maka tetap saja dianggap salah niat.
idrus ramli membela diri dengan mengatakan bahwa bebas saja lafadz tersebut, nah inipun tanpa hujjah krna tidak pernah sama sekali hal ini ada contohnya dari Rasulullah dan para sahabatnya, bahkan para imam empat itu sendiri tidak ada satupun yang mencontohkan hal ini. Jawabannya semakin aneh saja.
Wallahua’lam bishshowaab.
sumber : http://abumundziralghifary.blogspot.com/2013/12/tanggapan-atas-catatan-idrus-ramli.html
Silahkan tonton sendiri video dialognya, dan para pembaca bisa dengar sendiri keanehan-keanehan KH Idrus Ramli ini, silahkan..
[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=ydQxcjAeB2Q&rel=0]