Ketika Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi berhasil menguasai ‘Iraq, tidaklah
ia menugaskan seseorang untuk menjabat di sana dan mengatur rakyat
‘Iraq melainkan tidak berumur panjang. Orang-orang ‘Iraq yang tidak
rela dengan kezhaliman yang merajalela mendoakan kebinasaan bagi siapa
saja yang menjadi wakil Hajjaj di ‘Iraq.
Hajjaj pun memutar otak liciknya. Hajjaj meminta seluruh penduduk
‘Iraq untuk memberinya masing-masing sebutir telur ayam dan
meletakkannya di beranda masjid Jami’. Dikatakannya, ia sangat
membutuhkannya. Penduduk ‘Iraq menganggapnya sebagai sesuatu yang
sepele dan bukan merupakan kemungkaran. Mereka merasa tidak punya
alasan untuk menolaknya. Maka berbondong-bondong mereka menuju masjid
Jami’ dengan sebutir telur di tangan masing-masing. Tanpa menaruh
curiga sedikit pun mereka meletakkan telur-telur itu begitu saja di
beranda masjid.
Setelah semua orang meletakkan telur-telur yang mereka bawa, Hajjaj
melancarkan siasat busuknya. Dikatakannya, ia berubah pikiran. Dia
tidak butuh telur-telur ayam itu. Dia mempersilakan penduduk ‘Iraq
untuk membawa pulang telur-telur itu. Beribu tanya berlompatan di hati
penduduk ‘Iraq. Apa gerangan maunya si pendosa durjana itu. Dengan
mulut terkunci atau sekedar bisik dan gumam, masing-masing pulang
dengan membawa sebutir telur. Mereka pikir, jika yang diambilnya bukan
telur miliknya, pastilah itu telur milik saudaranya yang pasti
merelakannya barang miliknya tertukar.
Dari kejauhan, Hajjaj memandang kepulangan penduduk ‘Iraq dengan
tersenyum puas. Pendosa itu tahu, rencananya berhasil tanpa cela. Dia
lega. Kini ia bisa menjanjikan keselamatan bagi siapa saja yang
menjadi wakilnya, tanpa takut doa dan kutukan penduduk ‘Iraq.
Sampai di rumah masing-masing, penduduk ‘Iraq belum menyadari bahwa
Hajjaj telah berhasil menipu mereka. Mereka menjalani hari-hari
seperti biasa. Dan seperti biasa pula mereka mendoakan kebinasaan
wakil si pendosa durjana yang duduk di kursi tertinggi di ‘Iraq.
Hari berganti pekan, pekan berganti bulan, penduduk ‘Iraq menunggu
kebinasaan penguasa baru itu. Namun, kabar kematian yang biasanya tak
pernah mereka tunggu lama tak kunjung tiba. Mereka mulai mawas diri.
Mereka menginstropeksi diri. Mereka pun menyadari bahwa mereka telah
ditipu mentah-mentah oleh Hajjaj. Mereka kalah siasat. Telur yang
mereka bawa pulang yang kemudian mereka rebus atau goreng beberapa
waktu yang lalu, mereka pastikan bukan telur milik mereka. Telur
syubhat telah menghalangi pengabulan doa-doa mereka. Tapi apalah daya,
nasi telah menjadi bubur. Sesal kemudian tiada guna. Tinggal kesabaran
menghadapi kezhaliman Hajjaj yang dapat mereka hadirkan.
Akidah tentang Makanan Halal
Mengomentari kisah di atas, Ibnul Haj (737 H.) berkata, “Karena hal
inilah hari ini kezhaliman merata. Banyak doa dipanjatkan agar para
pelakunya binasa, namun sedikit sekali yang dikabulkan jika bukan
malah tak ada… sekiranya penduduk suatu negeri selamat dari keadaan
itu lantas berdoa, niscaya doa mereka dikabulkan.”
Ahlussunnah menjadikan perkara makan yang halal ini sebagai salah satu
akidahnya. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Sesungguhnya ada hamba-hamba
Allah yang karenanya Allah menghidupkan negeri dan memberi hidup untuk
penghuninya. Mereka adalah para pengikut Sunnah. Barangsiapa yang
memastikan apa pun yang memasuki rongga perutnya adalah makanan yang
halal, dia termasuk hizbullah, golongan Allah ta’ala.”
Ibnu Rajab, mengomentari pernyataan Fudhail, berkata, “Yang demikian
itu karena makan yang halal adalah perkara terpenting yang dijaga oleh
Nabi saw dan para sahabat.”
Syaikh ash-Shabuni menyifati Ahlulhadits dan Sunnah, bahwa mereka
adalah orang-orang yang bersikap ‘iffah dalam urusan makanan, minuman,
pernikahan, dan pakaian.
Abu Hurayrah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Baik dan Allah tidaklah
menerima amalan kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah telah
memerintahkan kaum mukminin sebagaimana perintah-Nya kepada para
Rasul. ‘Wahai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan
kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.’ (Al-Mu’minun: 51) Allah juga berfirman, ‘Wahai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik
yang Kami berikan kepadamu.’ (Al-Baqarah: 172) Setelah itu Rasulullah
menceritakan keadaan seseorang yang telah lama bepergian, rambutnya
kusut penuh dengan debu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke arah
langit sembari berdoa, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku,’ padahal
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya juga haram, serta ia
dibesarkan dari yang haram. Lantas bagaimana mungkin doa yang ia
panjatkan akan dikabulkan?’.”
Berkenaan dengan hadits ini Ibnu Rajab menulis, “Salah satu faktor
terbesar tercapainya amal yang baik bagi seorang mukmin adalah
kebaikan makanannya: hendaknya makanan halal. Dengan makanan halal
itulah amalnya menjadi bersih… Hadits ini pun mengisyaratkan, amal
tidak akan diterima dan tidak bersih melainkan dengan hanya makan
makanan yang halal. Juga, makanan haram merusak amal dan menghalangi
penerimaannya.” Wallahu al-Muwaffiq.
Judul asli, Syubhat Dalam Sebutir Telur Oleh: Imtihan Syafi’i
Sharekan bagaimana pandanganmu sendiri mengenai artikel di atas..
EmoticonEmoticon